Laman

Selasa, 18 Desember 2012

Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku

 Bagi orang awam, ijazah itu hanya simbol yang biasa digunakan dunia persekolahan bahwa seseorang telah mencapai derajad tertentu, entah itu lulus SD, SMP, SMA, diploma, sarjana, master, atau doktor. Dari konstruksi kalimat ini, ijazah bukan tujuan yang harus dicari seseorang, karena yang dicari adalah ilmu. Faktanya, kalimat ini tidak berlaku seratus persen. Lihat saja di dunia persekolahan di negeri ini ternyata banyak diisi oleh kaum akademisi yang logikanya terbalik, yakni ijazah menjadi tujuan dan penguasaan ilmu menjadi nomor kesekian belas. Karenanya dapat dipahami jika ijazah menjadi komoditas yang paling laris. Jual beli ijazah dapat dilakukan terang-terangan, maupun dapat dilakukan secara tersulubung. Coba saja iseng-iseng bertanya kepada seorang murid atau mahasiswa, maukah mendapat ijazah namun tidak mendapat ilmu, atau sebaliknya mendapat ilmu namun tidak mendapat ijazah misalnya, maka mahasiswa tersebur akan bersorak dan koor bersama: ”Yo mesti jelas pilih dapat ijazah (meski tidak dapat ilmu)”. Demikian juga mahasiswa saya, melihat saya sangat rajin mengisi kuliah sehingga tidak pernah sekalipun kosong, mereka malah bertanya: “Lho pak kok gak pernah kosong?” Saya hanya bilang: “Apa kalian ingin tidak ada kuliah saja dan kalian langsung saya kasih ijazah kosong dan diisi sendiri nilainya, mau?” Jawab mereka juga serempak: “Yo mestiiii….” Lalu mereka tertawa dan bertepuk tangan bersama, riuh rendah. Mengapa yang dicari ijazah? Karena ijazah juga bisa untuk bekal masuk pegawai negeri, sedangkan ilmu belum tentu. Buktinya untuk masuk pegawai yang ditanyakan juga ijazahnya, bukan penguasaan ilmunya. Cara memperdagangkan ijazah secara tersembunyi juga marak dilakukan, misalnya dengan cara mengatrol nilai, baik karena kasihan agar tidak menjadi mahasiswa abadi maupun karena memang rendah mutu perguruan tinggi yang bersangkutan. Lihat kasus nyontek massal dalam ujian nasional. Wajar jika kepemilikan ijazah seseorang tidak berbanding lurus dengan akhlaknya. Yang terjadi justru hal yang aneh: makin tinggi ijazah yang dimiliki seseorang, makin tinggi pula tingkat kecanggihannya untuk mencuri (korupsi). Korupsi jelas hanya dapat dilakukan oleh orang yang berijazah tinggi dan bukan oleh tukang becak, blantik sapi atau buruh penggali sumur. Karenanya, janji Allah hanya akan meninggikan beberapa derajad orang yang berilmu pengetahuan, dan bukan orang yang berijazah. Sialnya orang-orang Barat yang notabene secara formal tidak Islam dan tidak pernah membaca Quran, yang justru mengamalkan janji Allah ini. Terlepas orang-orang Barat tidak pernah bermujahadah, namun mereka sangat hebat berijtihad. Wajar untuk kapasitas tertentu, derajad mereka ditinggikan Allah. Penemuan-penemuan penting sebelum Revolusi Industri dilakukan oleh orang-orang bengkel dan bukan orang-orang persekolahan. Nama-nama seperti Graham Bell, Marconi, Wright Bersaudara, Thomas Edison, James Watt, dst adalah para praktisi bengkel yang rajin “iqro” dan tekun berjihad dan berijtihad. Jihad artinya bekerja keras untuk mewujudkan cita-cita dan pemikirannya. Sebaliknya kita, sangat rajin bermujahadah, namun sangat malas untuk beriqro dan berijtihad. Negeri ini sangat kaya ilmuwan dan ulama fiqh, dan sedikit ulama atau ilmuwan yang rajin iqro dan berijtihad. Al Quran yang mestinya sebagai sumber ilmu, hanya ditimang dan dilombakan dalam MTQ, meski ini juga tidak salah. 
Maksud saya alangkah indahnya jika Quran selain dibaca dan dilombakan secara indah dan estetis, namun juga digali ilmunya. Dalam kitab ini Allah menebar ilmu, entah itu ilmu biologi, kimia, geologi, astronomi, hukum, ekonomi, demokrasi, dst, sampai cara berdagang yang adil di pasar, cara memperlakukan batu dan rumut, bahkan cara bagaimana bersenggama yang santun pun Quran mengajarkannya. Ilmu-ilmu geologi mutakhir yang dikagumi saat ini, ternyata sudah ada di Quran ratusan tahun yang lalu. Ayat-ayat tentang: “Apa kamu kira gunung-gunung itu tetap tegak berdiri di tempatnya?“, “Akan Aku (Allah) tumpahkah isi lautan“, dst, adalah ilmu-ilmu tentang kerak bumi dan tsunami yang saat ini matian-matian kita klaim sebagai ilmu yang baru dan sebagian belum terpecahkan. Singkatnya, Barat yang rajin berijtihad namun kurang bermujahadah menjadi melenceng dalam menyikapi hidup. Akibatnya ilmu-ilmu yang tinggi justru merusak dunia, misalnya untuk mengeksploitasi, menjajah dan untuk berperang. Sebaliknya kita yang rajin bermujahadah, sangat jarang berijtihad, akhirnya hanya menjadi arif namun tidak memiliki keahlian atau kecerdasan untuk mengatasi dunia ini. Banyak kiai, ulama, atau intelektual yang hebat pengetahuan agamanya, namun tidak dapat membumi dan dimanfaatkan bagi kemaslahatan umat. Mereka hanya sangat fasih bertentangan dalam hal apakah ketika berkutex itu sah wudlunya atau tidak, dibandingkan suntuk menggali samudera pengetahuan yang maha luas ini. Dua-duanya sangat tidak disukai Allah. Padahal Ad-Dzariat 56 sudah jelas perintahnya Mestinya yang disebut mahasiswa atau murid harus rajin iqro, jihad ber-ijtihad sekaligus ber-mujahadah. Ini laku yang maha penting. Dalam fiolosofi Jawa ada istilah “Ngelmu iku kelakone kanthi laku“. Kita tidak dapat menguasai ilmu dan memanfaatkannya jika tidak ikut berenang, berkontemplasi, serta mencari dengan kesungguhan. Dengan kata lain, yang namanya murid itu mestinya “berkehendak” sesuai asal kata “murid”. Namun yang terjadi orang bersekolah atau berkuliah, hanya menyodorkan otak kosong dan rendahnya kehendak untuk menguasai ilmu. Wajar jika plagiarisme menjadi santapan sehari-hari dunia pendidikan kita. Wajar lembaga-lembaga bimbingan tes atau pembuat skripsi/tesis/disertasi sangat laris bak jualan togel. Kalau tidak percaya, coba tanya seorang remaja yang bernama M. Ainun Nadjib, yang pada tahun 70-an, ketika usianya baru belasan tahun, sudah mampu membuatkan puluhan skripsi bagi para calon sarjana yang bodoh dan malas di Yogyakarta. Sekarang kembali dan bandingkan dengan ilmuwan Barat. Mereka mengamalkan Quran dan falsafah Jawa tersebut dengan baiknya. Mereka rajin “iqro”, untuk membaca fenomena alam dan fenomena sosial. Di TV swasta dapat dilihat kegigihan ilmuwan Barat, yang hanya untuk sekadar mempelajari tingkah laku simpanse atau sekelompok laba-laba, ia rela hidup bertahun-tahun di hutan ! Mana ada ilmuwan kita yang seperti ini? Bahkan pemenang Nobel untuk pemetaan DNA, penelitiannya sudah dilakukan sejak tahun 1953 dan baru mendapat Nobel lima puluh tahun kemudian! Betapa suntuknya mereka mengembangkan ilmu. Jelas bahwa para ilmuwan maupun mereka yang memiliki jabatan profesor dan gelar doktor, mestinya menyadari bahwa gelar atau jabatannya adalah titik awal untuk berkarya, dan bukan “tujuan”. Karena jika jabatan profesor hanya sebagai “tujuan”, maka ia diibaratkan akan seperti sebatang “pohon pisang” saja, yakni “sekali berbuah setelah itu mati“. Seorang profesor mestinya laksana sebuah sumur yang semakin banyak ditimba, semakin agung airnya. Karenanya di luar negeri ada rasa malu jika seorang profesor sudah tidak berkarya lagi di almamaternya. Sebutan “publish or perish” menggambarkan kesetiaan seorang profesor di luar negeri atas komitmen ilmiahnya sekaligus komitmen terhadap kejujuran nuraninya. Di negara-negara maju kalau seseorang memiliki jabatan profesor, hampir dapat dipastikan ia adalah ilmuwan yang “kampiun”. Ia sosok yang sangat “haus” ipteks. Bahkan saking hausnya, banyak profesor di AS dan Australia, suntuk meneliti di Indonesia secara “khusyuk”. Sebut saja para profesor seperti William Liddle dari Ohio State University, Richard Robison, Clifford Geertz, Herbert Feith, Sidney Jones, Terrence Hull, Gavin Jones, dst. Bahkan seorang antropolog wanita asal AS (saya lupa namanya) konon kawin dengan Kepala Suku di Lembah Baliem Papua, “hanya” agar dirinya lebih mudah meneliti perilaku sosial suku tersebut. Serpihan contoh ini hanya sekadar menggambarkan betapa hausnya para profesor akan ilmu pengetahuan. Baginya ada kepuasan batin yang tiada tara ketika berhasil menganalisis berbagai fenomena sosial dan alam untuk dijadikan alat memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Negeri kita belum sampai ke taraf ini, karena bangsa ini masih bermental gelar formalitas. Bahkan ibadah haji yang setara dengan rukun Islam lainnya juga dibawa-bawa sebagai gelar dan disebut dalam setiap kesempatan. Karenanya dapat dipahami meski jumlah profesor terus bertambah namun tidak berarti ada rumus linier bahwa mereka akan menyumbangkan pemikiran dan penemuannya, apalagi memecahkan masalah kemasyarakatan. Wajar jika kemacetan lalu lintas malahan terus semakin ruwet, banjir tambah parah, jalan tol longsor meski baru dibangun dua bulan, impor beras dan produk-produk pertanian ditingkatkan, dst, meski di kota-kota yang mengalami masalah tersebut merupakan tempat tinggal para profesor. Karya para profesor tersebut belum begitu nampak, mungkin karena kesibukannya dalam menata kampusnya, lembaganya, instansinya, dst. Ijazah Maiyah dan Budaya Akademik Universitas Dari sketsa tersebut, maka mestinya Islam harus “diradikalisasi”. 
Islam harus beranjak dari sekadar budaya fiqh ke budaya syariah muamallah, Islam harus beranjak dari tafsiran-tafsiran yang hanya bersifat intuitif menjadi rasional (ilmiah). Islam harus dirubah dari sekadar disikapi secara spontanitas menjadi Islam yang organisatoris, dari yang mekanik menjadi dinamik, dari personal ke yang sistemik. Islam mesti menjadi agama yang kompet, yakni agama atas agama, yang melintasi “agama” instink, intelek dan agama wahyu. Ijazah Maiyah yang digagas dan direalisasikan di Surabaya 14 Nopember 2011 yang lalu dimaksudkan untuk memberi penghargaan orang-orang yang sudah mampu melampaui agama atas agama. Mereka adalah orang-orang yang sangat suntuk ber S1,S2, S3 bahkan S4 di Universitas Kehidupan. Mereka bukan pemburu secarik kertas ijazah, apalagi berorientasi pasar, namun sudah berhasil menjadi khalifatullah dalam arti sesungguhnya, yang antara lain ditandai oleh lima hal, yakni: Pertama, mereka benar dalam memilih nilai-nilai hidup sehingga mereka paham fitrahnya sebagai khalifatullah; Kedua, nilai-nilai hidup dan tindakannya sangat otentik karena dituntun oleh Allah dan hukan oleh iklan atau pengaruh keduniawian lainnya. Mereka tidak pernah berpikir bahwa kalau menjadi ustadz atau seniman, adalah seniman atau ustadz yang laku di pasaran. Mereka hanya berpikiran bahwa hidup itu untuk beribadah, dan kata ibadah itu luas maknanya, terutama bagaimana dirinya dapat memaksimalkan potensinya agar bermanfaat bagi alam semesta ini. Ketiga, semua yang mereka lakukan dilandasi penuh kesungguhan karena ini bukan saja sekadar pilihan hidup, namun perintah hidup. Mereka berlandaskan moral atau akhlak dan bukan kesungguhan karena paksaan syariat atau ancaman dosa-pahala, apalagi hanya taat karena ada aturan hukum belaka. Keempat, kesungguhan itu harus dibuktikan dalam waktu yang lama, dan ini berarti harus ada nilai kesetiaan, dan kelima, keikhlasan menjadi kata kunci yang sangat penting, karena apa arti kesungguhan jika tidak bertahan lama dan selalu menggerutu? Muara dari kelima hal tersebut adalah bahwa apa yang dilakukan para penerima ijazah Maiyah adalah, bahwa mereka melakukan sesuatu bukan karena mereka senang, namun juga melakukan sesuatu yang sesungguhnya tidak mereka senangi karena memang ini pilihan yang baik sebagaimana dituntunkan rasulullah dan Allah SWT. Dunia persekolahan, khususnya perguruan tinggi, mestinya mencontoh nilai-nilai yang ditawarkan para penerima ijazah Maiyah ini. Jika ini disepakati, berarti perguruan tinggi harus selalu aktif meninjau kelembagaan dan organisasi intern dan isi kurikulum yang digunakan agar mendukung pertumbuhan masyarakat ilmiah yang menjunjung kemartabatan manusia. Kurikulum tidak dirancang untuk menghasilkan lulusan yang seragam dan massal, namun yang mampu menunjang kreativitas, sikap akademis, kepribadian dan kemandirian. Dalam perspektif yang lebih luas, tidak terjebak dalam pengkotakan ilmu, teknologi, seni yang terspesialisasi pada bidang-bidang tertentu secara kaku, namun juga aktif mengembangkan kajian ipteks interdisipliner; agar lulusannya memiliki wawasan interdisipliner; Selanjutnya mengembangkan budaya keterbukaan, kejujuran dan berorientasi kepada pencapaian prestasi akademik, menjadi kewajibannya. Budaya akademik tersebut harus dijiwai nilai-nilai kebenaran yang tidak hanya berorientasi kepuasan ilmiah-intelektual namun sebagai bagian tanggungjawab moral akademik terhadap lingkungannya. Dengan kata lain pengembangkan kebudayaan akademik harus berorientasi kepada kebebasan akademik yang tidak bertentangan dengan nilai kemartabatan manusia. Idealisme ini dapat tercapai jika kukuh dalam memegang prinsip “otonomi universitas”, yakni tidak mudah terseret pada kepentingan pribadi maupun kepentingan dari luar yang bertentangan dengan nilai-nilai kejujuran akademis, kebenaran ilmiah, nilai-nilai kemartabatan manusia. Jika idealisme tersebut dapat diwujudkan maka perguruan tinggi akan tetap kritis menyuarakan kebenaran akademis, membela kepentingan masyarakat yang tertindas dan terbelakang, melalui cara-cara yang tidak anarkhis dan tidak bertentangan dengan moral dan etika. Para civitas akademika menjunjung tinggi kehormatan universitas, dengan karya-karya yang bermutu sebagai panggilan jiwa yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas. Untuk menggerakkan dunia ilmiah, perlu pemikiran tentang penghargaan karya-karya dari civitas akademika, dengan penghargaan yang sepadan dan proporsional antara kepentingan akademis dan nonakademis. Artinya perlu pula menerapkan “reward-punishment” yang jelas dan tegas kepada civitas akademika yang melanggar nilai-nilai akademis dan mencederai nama universitas dengan tindakan yang bertentangan dengan moral-etika, dan tidak segan memberi kesempatan kepada dosen muda yang berpotensi; Dedikasi lebih penting daripada sekadar brilyan namun rendah loyalitasnya kepada pendidikan, karya ilmiah dan kepada masyarakat. Untuk menunjang idealisme tersebut lembaga penelitian harus dikembangkan secara profesional sebagai simbol ilmiah sebuah universitas, dan harus berorientasi kepada kebenaran ilmiah yang inovatif dan berpihak kepada nilai-nilai kemartabatan manusia dan peradaban. Lembaga penelitian tidak hanya sekadar memberikan solusi praktis kepada masyarakat, bangsa dan negara, namun juga pengembangan teori, konsep baru dan memperluas kerjasama dengan institusi lain yang ditujukan bagi kemartabatan umat manusia. Untuk mengembangkan budaya meneliti, ada proses yang rutin dalam pengembangan budaya “curiosity“, semangat akademis, semangat kerjasama, ketekunan, kedisiplinan, tanggungjawab ilmiah, dan daya imajinasi yang tinggi, baik lewat lomba, seminar, lokakarya, pelatihan, “peer-group“, dan sebagainya yang tidak terlalu tergantung kepada kelengkapan fasilitas. Untuk itu mental untuk maju yang dikedepankan. Jarak sosial antara profesor-doktor, pejabat, dengan dosen-mahasiswa harus diperdekat agar terjadi budaya dialog-kritis untuk tidak menghambat pengembangan ipteks. 

Kehormatan civitas akademika (profesor-doktor-dosen-pejabat) ditentukan oleh bobot intelektualitas, komitmen dan kejujuran di segala bidang kehidupan. Menghindarkan civitas akademika dan universitas sebagai penopang kekuatan tertentu, namun terus mendorong perguruan tinggi sebagai penopang peradaban dan nilai-nilai kemartabatan

1 komentar: